Senin, 16 Agustus 2010

Pelabuha Buleleng Suatu Senja

Sewaktu membuka-buka kembali arsip lama, saya menemukan 2 lembar kertas berisi catatan saya sewaktu masih kuliah. Catatan itu berupa tulisan tangan di atas kertas stensil. Catatan ini memberikan gambaran tentang proses tulis-menulis yang saya lakukan. Tak terlalu bagus, memang, tapi inilah proses yang saya jalani waktu itu dalam mengasah kemampuan tulis-menulis.


Pelabuhan Buleleng Suatu Senja


Seperti hari-hari kemarin, aku kembali berada di Pelabuhan Buleleng di sore ini. Seperti ada magnet yang menarikku untuk senantiasa datang ke sini untuk menikmati tenggelamnya bola emas di garis cakrawala. Sambil duduk di bawah patung monumen, mataku senantiasa mengikuti jalannya matahari yang hendak beristirahat di balik malam. Sering kali aku merasa sepi di tengah keramaian pelabuhan ini.


Sisa kebesaran Pelabuhan Buleleng hampir tak berbekas, padahal dulu pernah menjadi dermaga terbesar di Pulau Bali hingga tahun 1950-an. Bekas kantor kepabeanan pun dibiarkan telantar, kosong. Melalui Pelabuhan Buleleng, ratusan ekor sapi dan hasil perkebunan, seperti kopi dan cengkeh asal Bali, diekspor ke Singapura.


Sore ini, pelabuhan Buleleng tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung yang hilir mudik atau sekadar duduk-duduk. Mungkin karena baru saja hujan reda, banyak orang yang enggan berkunjung kemari. Walaupun demikian, aku merasa senang karena aku merasakan suatu ketenangan tersendiri dan tak terganggu oleh celoteh pengunjung yang lain.


Pelabuhan Buleleng ini pernah menjadi pintu utama Bali sejak masa pendudukan Belanda hingga menjadi ibu kota Provinsi Sunda Kecil, yang meliputi Bali, Lombok, Bima, Flores, Timor (barat), dan Sumba, serta pulau kecil di sekitarnya, pada periode 1950—1958. Cerita usang ini ”terkunci rapat” di sejumlah literatur serta mulut-mulut pelaku sejarah yang usianya menjelang senja.


Pada zaman pendudukan Belanda, pelabuhan itu dipakai untuk bongkar muat barang dan juga kapal pesiar asing yang membawa wisatawan menikmati Pulau Dewata. Saat itulah pamor pantai utara mengalami zaman keemasan.


Kembali kutatap langit yang mulai berangsur cerah dan laut yang tampak tenang dan jernih kebiru-biruan. Hanya ada beberapa perahu nelayan yang tampak berada di tengah laut, mungkin mereka khawatir hujan akan turun lagi. Meski begitu, aku tidak merasa kesepian karena burung-burung laut ramai beterbangan di atas permukaan air. Sesekali mereka terjun ke laut bila melihat ikan di bawah permukaan air. Mereka kembali dan hinggap di bekas anjungan dengan seekor ikan di paruhnya.


Penjaja makanan yang senantiasa menawarkan dagangannya tak pernah aku hiraukan. Terkadang aku merasa terganggu oleh kehadiran mereka. Hayalanku yang tengah terbang ke dunia lain seakan dipaksa untuk kembali ke dunia sebenarnya oleh sapaan mereka. Tapi aku juga tak dapat begitu saja menyalahkan mereka karena pelabuhan ini adalah tempat umum dan itu adalah profesi mereka. Akhirnya, aku terpaksa memahami mereka.


Matahari sudah mulai menyentuh garis cakrawala. Bias cahayanya yang kemerahan tampak di langit, membentuk garis-garis cahaya merah yang begitu indah dan sangat mengagumkan. Sebentar lagi matahari akan hilang sepenuhnya untuk terbit esok hari. Aku pun harus segera beranjak meninggalkan pelabuhan ini karena azan maghrib telah memenggilku untuk segera melabuhkan segenap jiwa, bersimpuh dan bersujud di hadapan Yang Mahakuasa.

Pelabuhan Buleleng, di suatu sore bulan Oktober 1996

Selasa, 10 Agustus 2010

Tiga Halaman Terakhir yang Tertunda

Menurut seorang penulis, gaya penulisan seseorang, khususnya dalam penulisan karya fiksi, sangat dipengaruhi oleh karya yang sering ia baca, oleh karya yang membuatnya terkesan, atau oleh karya yang pertama ia baca. Karenanya, bila seseorang sering membaca fiksi "serius" dan bermutu, biasanya sewaktu membuat karya fiksi pun, dia akan menghasilkan karya fiksi "serius" dan bermutu. Begitu, menurutnya.

Ungkapan penulis ini membuat pikiranku kembali diajak-ajak untuk mengingat-ingat karya fiksi yang pertama aku baca, yang mampu memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap gaya penulisan fiksi yang aku buat.

Sewaktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku kerap mencuri-baca majalah-majalah milik kakak perempuanku, di antaranya Anita Cemerlang, Mangle, Femina, dan Gadis. Malam hari menjelang tidur atau di kala rumah tengah sepi, sering kali aku tenggelam dalam asyiknya membaca karya fiksi yang dimuat di majalah-majalah tersebut. Ada beberapa judul fiksi dan sejumlah penulis yang berkesan dan masih aku ingat sampai sekarang. Di antara penulis yang masih aku ingat: Eddy D. Iskandar, Yus Rusyana, Fitri, Min Resmana, Ki Umbara, Saini K.M., Ajip Rosidi, Usman, Gola Gong, dan Pipiet Senja. Ketiga nama terakhir menambah kesan tersendiri bagiku karena sewaktu aku menjadi manajer redaksi di sebuah penerbit, aku justru yang menilai kelayakan terbit naskah mereka untuk diterbitkan.

Cerpen “Laut Biru Langit Cangra” dan “Di Dieu Hate Reureuh” yang dimuat di majalah Mangle dan cerpen “Kelinci Putihku” yang dimuat di majalah Anita Cemerlang masih aku ingat.

Aku teringat akan novel yang pertama aku baca. Aku membacanya sewaktu masih duduk di bangku SD di awal tahun 80-an. Novel yang sebenarnya milik pamanku itu berjudul Tiada Musim Gugur di Sini karya Purwono, yang diterbitkan oleh penerbit Sinar Pelangi, Bandung pada tahun 1978. Purwono ini seangkatan dengan Edy D. Iskandar yang menulis novel Gita Cinta dari SMA yang kemudian dijadikan film yang terkenal pada zamannya dan melambungkan nama Rano Karno dan Yessy Gusman.

Setelah sekian tahun dari pertama aku membaca novel Tiada Musim Gugur di Sini sampai hari kemarin, aku masih penasaran akan akhir cerita (ending) novel tersebut karena tiga halaman terakhir dari novel milik pamanku itu hilang entah ke mana. Aku coba mencari tahu melalui internet apakah ada orang yang mengetahui novel tersebut dan memiliknya. Akhirnya aku menemukan novel tersebut. Aku segera memesannya dan alhamdulillah mendapatkan respons yang bagus. Kemarin, paket berisi buku tersebut tergeletak di atas meja kerjaku. Aku segera membuka dan membacanya hanya tiga halaman terakhir dari novel tersebut.

Bayangkan saja, rasa penasaranku yang terkubur bertahun-tahun lamanya terhadap tiga halaman terakhir dari novel tersebut terpuaskan hanya dalam waktu kurang lebih satu menit.


Jakarta, 12 Februari 2010


Hujan yang Mengundang Kenangan

Hujan mengetuk-ngetuk jendela masa lalu
Menebarkan potret-potret kenangan usang
Berkaca pada genangan-genangan suram
Sekilas dalam berlalunya waktu

Membaca kembali kenangan lusuh
Saat kembali dari sekejap pertemuan kita
Membawa hati dalam amuk amarah
dan sebentuk cincin kekecewaan....

Ingin kubakar kenangan itu
Menjadi abu yang akan diterbangkan angin
dan menjadikannya terlupakan....

Di atas meja kerja, 10 Maret 2010

Hadirnya Tamu yang Dinanti (Ramadhan)

Ramadhan kembali datang menjenguk,
genggam erat hatiku,
tuk reguk nikmat ibadah sepuas ingin.
Ia beri sentuhan hangat di punggung,
meraih lenganku,
bantu aku berdiri.
Perlahan melangkah
menuju sumber cahaya.


Inilah saat tepat perkuat lima yang wajib.
Saat tepat tambahkan rakaat-rakaat sunah selepas Isya.
Saat tepat tuk bersimpuh di sepertiga malam,
mencium harum-Nya,
ruku dalam takzim,
sujud dalam hening.
Bertutur dalam bahasa yang aku dan Dia mengerti.
Menambah derajat sabar, peduli, dan ikhlas
dalam lapar dan dahaga.


Inilah saat tuk lepaskan gundah yang bersarang di jiwa.
Saat tepat tuk luruhkan pedih.
Mengggapai-gapai malam nan penuh berkah
di penghujungnya
dalam alunan lirih ayat-ayat suci dan iktikaf.

Marhaban, ya Ramadhan….





Di atas meja kerja, 10 Agustus 2010

Kamis, 29 April 2010

Guru: Model bagi Anak Didik

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Inilah pepatah yang sangat populer di tengah masyarakat kita. Populer karena menjadi acuan bagi dunia pendidikan, khususnya guru, untuk bisa menempatkan diri sebagai cerminan dan contoh bagi anak didiknya. Juga populer karena menjadi bahan kritik masyarakat terhadap dunia pendidikan, khususnya guru, karena sekarang ini, guru tengah menjadi sorotan dan cermin kusam di dalam dunia pendidikan.

Dewasa ini, profesi guru tengah menjadi sorotan pemerintah, politisi, dan masyarakat. Ada sebagian pihak yang menyoroti sisi kesejahteraan guru di Indonesia yang tidak pernah meningkat dari waktu ke waktu. Jangankan untuk menjadi warga terhormat di tengah masyarakat dengan tercukupi segala kebutuhan hidupnya, untuk hidup layak saja, sebagian besar guru harus mengeluarkan energi ekstra untuk menggapainya. Di samping itu, ada juga sebagian pihak yang menyoroti tugas guru sebagai media pentransfer nilai, ilmu, dan pengetahuan. Ada juga yang menyoroti guru sebagai pendidik, panutan, dan contoh bagi siswanya. Tak jarang kita mendengar beberapa kasus guru yang memperlakukan siswanya melebihi wewenangnya, seperti menghukum siswa yang berakibat fatal bagi fisik maupun mental siswa.

Dengan kondisi seperti ini, guru tetap dituntut untuk menjalankan profesionalitas kerjanya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa (sekaligus tanpa kesejahteraan yang layak). Dalam kondisi kritis seperti itu, guru harus tetap mengabdi sepenuh hati kepada dunianya. Dia harus tetap menunjukkan dedikasinya terhadap dunia pendidikan dan dapat menjadi contoh ideal bagi siswanya.

Dalam profesionalitas kerjanya, di samping sebagai pengajar yang harus piawai menyampaikan materi pelajaran sehingga mudah dicerna siswa, guru pun dituntut untuk dapat menjadi pendidik. Guru harus bisa menjadi pengayom, pemberi contoh baik, dan dapat mengarahkan siswa ke arah perilaku yang baik dan terpuji (akhlaqul karimah).

Potret di atas harus dijawab dan disikapi oleh semua guru yang menyadari tugas berat yang tengah dipikulnya.

Dengan kesadaran bahwa ia adalah pendidik, guru harus berupaya menampilkan diri sebagai sosok ideal (setidaknya mendekati) yang dapat dicontoh oleh siswanya. Banyak upaya yang dapat ditempuh untuk menuju arah itu, dengan upaya pribadi ataupun upaya dari pemerintah dan dunia pendidikan.

Ini adalah tugas bersama antara masyarakat, pemerintah, dan dunia pendidikan.

Sebagai individu, guru adalah anggota masyarakat. Dari sana pula guru berasal. Dari sebuah keluarga (sebagai bagian dari masyarakat) yang baik dan peduli pada pendidikan, akan lahir individu guru yang baik dan mengabdi pada dunianya. Demikian pula masyarakat yang baik akan turut memengaruhi individu guru menjadi sosok yang baik.

Dalam menjalankan tugasnya, guru senantiasa mengacu pada peraturan dan ketentuan yang telah digariskan pemerintah. Pemerintah memberikan rambu-rambu ke mana tujuan pendidikan akan diarahkan. Karenanya, pemerintah harus berupaya menciptakan produk kurikulum yang dapat dijadikan jalan dan arahan oleh guru dalam menjalankan tugas profesinya. Selain itu, pemerintah harus dapat memberikan payung hukum terhadap guru dan kesejahteraannya. Dengan kesejahteraan yang dijamin pemerintah, guru dapat dengan tenang dan baik menjalankan tugas mulianya itu. Guru tidak perlu bercabang perhatiannya dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dan keluarganya.

Pemerintah pun harus dapat mencetak guru-guru yang profesional dan berdedikasi tinggi lewat lembaga pendidikan keguruan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perguruan tinggi keguruan kurang diminati. Walaupun masih berupa asumsi, input lembaga ini pun sangat jauh di bawah input dari lembaga pendidikan yang mendidik calon dokter, insinyur, dan calon profesi lainnya. Jarang sekali yang masuk ke perguruan tinggi keguruan itu lulusan SMA dengan predikat terbaik. Dengan demikian, lembaga ini memikul beban berat untuk dapat mencetak guru-guru yang andal.

Selain itu, untuk mencetak pendidik yang ideal, guru sebagai individu, harus mampu menjawab tantangan zaman yang semakin mengglobal. Guru harus memperkaya diri dengan pengetahuan yang semakin berkembang. Ia tidak boleh diam dengan pengetahuan yang ada padanya. Ia harus membuka mata dan telinga untuk dapat menangkap setiap informasi yang ada.

Guru tidak boleh berhenti hanya sebagai alat pentransfer ilmu. Lebih dari itu, ia harus menjadi sosok panutan yang akan dicontoh oleh siswa, baik dalam ilmu pengetahuan yang dimilikinya, semangat hidupnya, maupun akhlaknya.


Guru adalah agen perubahan (agent of change) yang senantiasa mampu memodifikasi pola ajar dalam menghadapi persoalan pengajaran dan pendidikan. Dalam perjalanan waktu, permasalahan senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Guru harus dapat menyikapi hal ini. Modernisasi dan globalisasi telah menghasilkan berjuta produk budaya. Guru tidak boleh ketinggalan. Ia harus senantiasa mempelajari dan menyikapinya. Karena itu, guru harus senantiasa belajar dan belajar.

Dengan senantiasa memperkaya diri dengan informasi dan pengetahuan mutakhir, guru akan mentrasfer ilmu yang mutakhir pula kepada siswanya. Bagaimanapun juga, siswa membutuhkan informasi ilmu dan pengetahuan masa kini dan masa depan yang akan ia hadapi nanti.

Anak hari ini adalah manusia dewasa pada masa yang akan datang. Kondisi masa datang yang akan mereka hadapi tidak sama dengan keadaan kita sekarang ini, bahkan lebih rumit, kompleks, dan sulit. Karenanya, guru harus mempersiapkan mereka sedemikian rupa dengan membekali mereka ilmu pengetahuan yang memadai.


Bogor, 22 Desember 2005
Dadi M.H.B.

Kamis, 15 April 2010

Bekal untuk Calon Entrepreneur dari Aburizal Bakrie

Selama ini banyak orang bertanya kepada saya bagaimana rahasianya menjadi pengusaha yang sukses. Mereka berharap saya bersedia membagi pengalaman dan kiat-kiat berusaha supaya sukses. Bagi saya, membagi pengalaman kepada orang lain itu menyenangkan, apalagi bila pengalaman saya tersebut bermanfaat.

Senin 5 April lalu, saya diundang oleh Universitas Islam As-Syafiiyah, Jakarta, untuk membagi pengalaman. Dalam acara bertajuk “Studium Generale Kewirausahaan” itu saya diminta memberikan ceramah mengenai kewirausahaan dan kiat sukses berbisnis.

Kepada para mahasiswa, saya katakan untuk sukses berbisnis, kita tidak bisa hanya belajar di bangku kuliah. Bangku kuliah hanya mengajarkan tentang dasar dan teori. Sisanya kita belajar kepada mereka yang telah berhasil. Orang itu tidak harus S3 untuk menjadi pengusaha. Bisa jadi, hanya S1 seperti saya, bahkan ada yang tidak memiliki ijazah.

Apa langkah pertama yang harus dilakukan untuk memulai usaha dan menggapai kesuksesan? Jawabannya adalah mimpi. Kita harus berani bermimpi menjadi orang yang sukses. Sejarah juga membuktikan banyak temuan hebat dan orang sukses dimulai dari sebuah mimpi. Kalau Anda bermimpi saja tidak berani, mengapa membuka usaha?

Tentu saja tidak hanya berhenti sekadar mimpi untuk mencapai sukses. Setelah mimpi Anda bangun, pikirkanlah mimpi Anda. Berpikirlah yang besar. Seperti kata miliarder Amerika Donald Trump, "If you think, think big." Pikir yang besar, pikir jadi presiden, jangan pikir yang kecil-kecil.

Setelah itu Anda buat rencana, buat rincian, dan bentuk sebuah tabel. Terakhir, yang paling penting, segera jalankan rencana tersebut. Jika Anda bertanya perlukah berdoa? saya katakan berdoa itu perlu. Tapi, perencanaan juga perlu. Doa saja tanpa perencanaan saya rasa tidak akan berhasil.

Dulu, waktu masih kuliah, saya biasa membuat perencanaan dan membagi waktu. Saya bangun shalat subuh lalu latihan karate, setelah itu tidur lagi sampai pukul 10. Baru pukul 11 belajar. Wakuncar atau waktu kunjung pacar juga diatur pukul 19.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB. Jika sudah pukul 22.00 WIB, meski lagi asyik, harus pulang untuk istirahat. Intinya, dengan perencanaan, masalah akan terselesaikan dengan baik. Sekarang juga begitu, saya bagi waktu untuk partai dan lainnya. Pukul sekian seminar, pukul sekian jadi pembicara, pukul sekian memutuskan calon di pilkada. Kadang 10 masalah bisa saya selesaikan sehari.

Keluhan paling sering dilontarkan orang yang tidak berani berusaha adalah tidak mempunyai modal atau dana. Banyak juga yang berkata saya bisa sukses karena ayah saya pengusaha. Itu salah besar. Saat memulai usaha, saya tidak mempunyai uang. Saat akan membeli Kaltim Prima Coal (KPC), saya juga tidak memiliki dana. Caranya saya datangi calon kontraktor dan tawarkan kerja sama yang menguntungkan dia, tapi saratnya dia pinjami saya dana. Saya juga mendatangi bank dan berkata demikian. Dari uang yang dipinjamkan itu, saya membeli KPC dan sekarang menjadi perusahaan besar.

Jangan pernah bicara tidak punya dana. Uang datang jika ada ide besar atau ada proyek yang visible. Bill Gates juga tidak mempunyai uang, tapi dia mempunyai ide bagus. Dia tidak lulus kuliah, dia bukan anak orang kaya, tapi dari garasinya, dia bisa membuat Microsoft menjadi perusahaan besar.Karena itu, pikirkan ide yang bagus lalu Anda cari partner yang punya uang. Yakinkan dia dan berkerjasamalah dengan dia. Jika dalam kerja sama partner Anda meminta keuntungan lebih besar, jangan persoalkan. Misal semua ide dari Anda, tapi Anda hanya dapat 10%, itu tidak masalah sebab 10% itu masih untung daripada Anda tidak jadi bekerja sama dan hanya dapat 0 %. Jangan lihat kantong orang, jangan lihat untung orang, lihat kantong kita, ada penambahan atau tidak.

Setelah Anda menjalani usaha, suatu saat, Anda pasti akan menghadapi masalah. Hadapi saja masalah itu karena masalah adalah bagian dari hidup yang akan terus datang. Saya sendiri juga pernah menghadapi masalah saat krisis ekonomi 1997—1998. Saat itu, keadaan perekonomian sulit, semua pengusaha dan perusahaan juga sulit.

Saat itu, saya jatuh miskin. Saya bahkan jauh lebih miskin dari pengemis. Ini karena saya memiliki utang yang sangat besar. Utang saya saat itu sekitar USD 1 miliar. Di saat yang sulit seperti ini, biasanya sahabat-sahabat kita, rekan-rekan kita, semuanya lari.

Karena itu, di saat yang sulit ini, kita tidak boleh memperlihatkan bahwa kita sedang terpuruk. Jangan memperlihatkan bahwa kita sedang gelap. Seperti yang diajarkan oleh ayah saya Achmad Bakrie, jangan biarkan dirimu di tempat yang gelap karena di tempat yang gelap bayangan pun akan meninggalkanmu. Karena itu, di saat susah itu, saya tetap tegar dan tidak menunjukkan keterpurukan. Saya bahkan terpilih menjadi ketua umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) untuk kali yang kedua. Kalau saat itu saya tunjukkan keterpurukan, mana mau mereka memilih saya.

Yang penting setelah kita terpuruk, kita harus bangkit kembali. Kalau saat itu saya tidak bangkit, saya tidak akan bisa seperti saat ini. Saya berprinsip hadapi saja masalah, jangan lari. Banyak usaha yang saya lakukan, misalnya melepas saham keluarga dari 55% menjadi tinggal 2,5%. Saya juga mencari pinjaman sana-sini. Saya bahkan telah pergi ke 220 bank di seluruh dunia untuk menyelesaikan masalah saya. Akhirnya dengan usaha keras, pada tahun 2001, saya bisa bangkit kembali dan utang saya bisa dilunasi dan bisnis saya membaik kembali.

Itulah pengalaman saya selama ini. Saya berharap bisa menjadi ilmu yang berguna. Papatah mengatakan pengalaman adalah guru yang paling baik. Sebagai penutup, saya ingin bercerita mengenai kisah telur Colombus. Suatu saat, Colombus menantang orang-orang untuk membuat telur bisa berdiri. Saat itu, tidak ada satu pun orang yang bisa membuat telur berdiri. Colombus kemudian memberi contoh cara membuat telur berdiri dengan memecahkan bagian bawahnya. Orang-orang lalu berkata, “Ah, kalau begitu caranya, saya juga bisa.”Nah, saya ingin menjadi Colombus. Saya tunjukkan caranya lalu Anda mengatakan, “Kalau begitu, saya juga bisa.” Setelah itu, Anda memulai usaha dan menjadi berhasil serta sukses. Saya senang kalau Anda sukses karena semakin banyak orang sukses, semakin maju bangsa ini.

Sumber: http://icalbakrie.com/2010/saya-pernah-lebih-miskin-dari-pengemis/

Kamis, 08 April 2010

Penyesalan (Sebuah Puisi)

Penyesalan

Di antara derai hujan
Yang mengetuk-ngetuk hari
Aku tersadar
Di antara amarahmu
Yang hinggap di pagi hari

Maafkan...
Kesadaran akan harga diri
Terbit di antara celah amarah
Bukan untuk menutupi kepincangan
Persembahan yang kuberikan

Lelaki adalah matahari
Tak ingin dilampaui lembutnya rembulan
Saling memberi dalam keindahan masing-masing
Simponi hidup hingga ke ujung usia.


Di atas meja kerja, 19 Maret 2010